Rencana Pernikahanku Batal karena Hadirnya Mantan yang Kurang Ajar

Selasa, 25 September 2018 11:15Penulis: Aisyah Apriani Putri - Palembang
  •  
  •  
  •  
  • 31
    SHARES
Ilustrasi./Copyright pixabay.com
Lagi sibuk menyiapkan pernikahan? Atau mungkin punya pengalaman tak terlupakan ketika menyiapkan pernikahan? Serba-serbi mempersiapkan pernikahan memang selalu memberi kesan dan pengalaman yang tak terlupakan, seperti tulisan sahabat Vemale dalam Lomba Menulis #Bridezilla ini.
Ini cerita persiapan pernikahanku. Aku mahasiswa di salah satu universitas di pulau Sumatera. Usiaku baru 22 tahun, sedangkan calon suami baru masuk 25 tahun. Aku tak pernah tahu asal mula kisah ini. Mungkin semua ini sudah dipersiapkan orang tua kami sejak kami lahir. 

Calon suamiku orang yang sangat baik, mungkin yang terbaik yang pernah aku kenal. Dia sepupuku dari sebelah ibu. Jadi make sense kan kenapa aku bilang ini sudah dipersiapkan sejak lahir? Sejak dulu, memang kami berdua jarang bertemu. Dia tinggal di Padang, aku di Palembang. Kami bertemu setiap dua tahun sekali tepatnya saat lebaran Idulfitri di Jambi, di tempat nenek dan datuk kami tinggal.
Ilustrasi./Copyright pixabay.com
Selama ini yang aku tahu, abang ya abang. Tak pernah terbesit untuk punya perasaan lebih dari itu. Sejak dua tahun terakhir abang mulai menunjukkan gelagat yang terbaca ‘naksir’ di mataku. Dua tahun lalu jugalah  kami bertemu di Padang, ada acara pernikahan keluarga di sana. Kami jalan-jalan ke pantai, mendengar ombak, tertawa ya seperti kakak adik lainnya di mataku, mungkin sebuah kisah romantis di mata abang. Entah aku yang clueless atau memang kodenya yang tak terbaca olehku, aku pulang ke Palembang tanpa tahu perasaannya dan tak pernah ambil pusing.

Sampai akhirnya lebaran tahun ini kami bertemu di Jambi. Dia dan keluarganya menyatakan niatan itu di depan keluarga besar. Aku yang masih polos, had no idea what was going on hanya bisa diam sambil tersipu malu. Kami pulang ke rumah masing-masing dan memulai pendekatan itu. 

Jujur saja, hal ini sulit dijalani dan aku tak ingin berkata tidak. Ada karakter yang tidak aku kenali, selama ini bukan sosok yang seperti ini yang aku pahami dari calon suamiku. Ada perasaan yang perlu diarahkan lagi, dari sayang karena dia saudaraku menjadi sayang karena dia calon suamiku. Kami menjalaninya dengan baik, rasa itu entah bagaimana hadir, mungkin benar cinta karena terbiasa dan rindu karena tak selalu bertemu. Kami mulai menyusun rencana masa depan kami, aku bersiap untuk menyelesaikan skripsiku secepat mungkin, calon suami juga sedang mempersiapkan banyak hal dan sampai akhirnya kami yakin ingin melaksanakannya bulan Februari tahun depan.
Ilustrasi./Copyright pixabay.com
Tapi sebaik-baiknya rencana, ada saja masalahnya. Entah karena memang bukan jodoh, atau memang kesalahan kami yang membuat banyak hal jadi kacau. Jujur pelajaran berharga bagiku, walau sedih sempat melanda hari-hariku. Kami tidak jadi menikah. 

Penyebabnya, mantan. 

Ah, pahit. Aku punya mantan, banyak orang juga punya mantan. Tapi mungkin mantanku agaknya lebih kurang ajar dari kebanyakan tipe mantan yang ada di luar sana. Kami berpisah akhir tahun lalu. Alasannya, dia selingkuh. Entah kabar dari mana, dia tahu aku akan segera menikah. Entah apa yang ada di pikirannya, dia terus menerus menghubungiku baik dari telepon ataupun media sosial. Seolah terniat di hatinya untuk jadi orang ketiga dan merusak hubungan aku dengan calon suamiku karena kenyataannya dia sendiri sudah punya pasangan. 

Hari itu calon suamiku datang, tapi handphoneku terus saja berdering. Aku tak pernah merespon nomor-nomor tanpa nama, aku menyimpan nomor telpon mantanku, tapi tak bisa menyimpan nomor kantornya yang random. Sudah berhari-hari nomorku menjadi sibuk, dan mungkin mengganggu calon suamiku. Hingga hari itu semuanya selesai saat calon suamiku menggangkat telepon si dia.
Ilustrasi./Copyright pixabay.com
Aku pahami, mungkin berat bagi calon suamiku, mungkin pikirnya ada perasaan yang belum selesai atau masalah yang belum selesai di antara aku dan mantanku. Meski aku sudah menjelaskan, bahwa aku tidak begitu, bahwa semuanya di luar kendaliku, meski juga aku sudah mengganti nomor, mantanku entah dari mana tetap bisa menghubungiku. Aku tak tahu.

Sejak hari itu, calon suami berubah. Banyak alasan, suka menghilang, dan hal lain yang aku bisa mengerti bahwa ia mulai mendekati titik ingin menyerah. Aku hanya bisa mengiyakan pembatalan sepihak dari calon suamiku. Hati kecilku berkata, "Tak apa, pelajaran."  Pelajaran berharga sekali untukku, persiapan pernikahan tidak sesederhana mencoba cincin pernikahan, fitting baju pengantin, booking gedung, dan lain sebagainya. 

Banyak masalah internal, terkait keseriusan dan kemantapan hati untuk terus melangkah. Ada kemungkinan hal baik terhalang oleh orang-orang di kehidupan masa lalu yang merasa urusannya belum selesai. Aku pribadi menyadari bahwa masalah-masalah di masa lalu harus segera aku selesaikan, walaupun menurut aku telah selesai, bisa jadi pihak yang lain tidak merasa demikian. Aku juga belajar bahwa mungkin ini terbaik untuk aku, terlintas pikiran bagaimana jika kejadian seperti ini justru terjadi setelah menikah, bisa jadi aku janda. Haduh amit-amit.
Ilustrasi./Copyright pixabay.com
Tapi patah hati itu pasti, kecewa adalah hal yang wajar. Hal terpenting buatku sekarang adalah mempersiapkan diriku sendiri menuju pernikahan yang sesungguhnya. Mungkin aku belum punya calon lagi, bahkan sejujurnya masih trauma berat tapi  aku harus segera siap lahir batin, aku harus bisa bersikap yang tegas dan aku harus bisa menentukan pilihanku sendiri. Aku perlu untuk mengenal siapa calon suamiku, aku perlu tahu bagaimana pikirannya tentang aku dan banyak hal seputar aku. 

Aku ingin pernikahan yang sepenuhnya berorientasi pada kami saja, yang tujuannya adalah kebaikan satu sama lain, menerima kekurangan, menguatkan kelemahan, mencintai kelebihan dan terus berbagi cinta di setiap harinya. Untuk sampai ke titik itu aku harus mencintai diriku sendiri, lebih percaya diri dan berani berkomitmen dengan orang baik, tidak menutup diri meski pernah gagal berkali-kali dalam hubungan asmara. Saatnya bangkit. Yang lalu adalah cerita, sekarang adalah hari yang aku jalani, bukan berarti setelah kegagalan ini membuat aku tidak akan menikah selamanya. Belum tentu.

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.