Bulan Maret pukul delapan malam saat itu, sebuah pesan masuk di inbox instagramku. Seorang teman lama yang dulu juga adalah sahabat baikmu, tiba-tiba saja mengirimkanku pesan dengan diawali menanyakan bagaimana kabarku. Tidak pernah sedikitpun terpikir olehku, apa tujuan dari pesan yang dikirimkan, aku merasa hanya sekedar menyapa seorang teman lama yang sudah lama tidak saling bertukar cerita. Tidak berselang lama, dia menanyakan apakah aku tahu bahwa kamu sudah meninggalkan dunia ini beberapa jam yang lalu.
ADVERTISEMENT
Tentu bukan berita yang aku suka untuk di dengar, aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya malam itu. Aku hanya ingin meyakinkan diriku bahwa aku sedang bermimpi, atau jika ini nyata, aku mencoba berpikir bahwa teman lamaku itu hanya bercanda tentang apa yang dia katakan. Tahu apa yang paling menyesakkan dari kehilangan seseorang untuk selamanya?
Ketika orang itu pernah mati-matian berjuang untukmu, ketika kalian pernah punya mimpi besar bersama dan ketika aku tidak pernah mengucapkan maaf serta terimakasih untuknya, terlebih ketika aku tidak ada bersamanya untuk yang terakhir kalinya. Aku hanya punya segudang rasa sesal di hatiku buatmu, sesal yang tidak pernah bisa terbayarkan dengan kata maaf karena kamu sudah tidak bisa lagi mendengar.
ADVERTISEMENT
Sesal yang bahkan sampai saat ini selalu membuatku menangis setiap kali aku mengingat semua tentang kamu dan sesal yang akan terus membuatku terus merasa bersalah, karena yang aku tinggalkan buatmu hanya luka yang tidak pernah sempat untuk aku coba untuk obati, bahkan hanya untuk sekedar kata maaf pun aku terlalu malu untuk mengusahakannya saat aku memilih untuk pergi darimu dulu.
Satu hari berselang dari hari kepergianmu, aku ada disana disampingmu, ya di samping peti di mana kamu berbaring untuk yang terakhir kalinya. Akhirnya kita bertemu setelah sekian tahun aku tidak lagi berkunjung ke kotamu, lebih tepatnya untuk menemuimu. Kita manusia terlalu punya banyak alasan untuk menunda, untuk menganggap remeh seolah cerita tidak akan pernah berakhir atau seolah semua manusia bisa hidup abadi di dunia ini, sehingga kita lebih suka meratapi sesal daripada memangkas ego untuk bisa menyediakan daya dan upaya untuk bisa bertemu.
Sungguh bukan pertemuan semacam ini yang aku mau, setidaknya tetaplah hidup dengan bahagia walau aku tidak pernah bisa memberikan itu buatmu. Kamu boleh membenciku seumur hidupmu dengan cara hidup bahagia dengan pilihan hatimu, tapi kenapa harus semesta yang memelukmu untuk pulang?
Setidaknya aku punya lima menit saja atau bahkan satu menit untuk terakhir kali saja mengatakan maaf juga terimakasih, untuk satu kali lagi saja melihatmu bernapas dan sehat seperti dulu saat kita masih bersama.
ADVERTISEMENT
Dan aku kehilanganmu, untuk selama-lamanya kali ini…
Aku kehilangan orang yang pernah memperjuangkanku mati-matian dulu, yang menomor satukan kebahagiaanku diatas semua kekurangan yang kamu punya, aku kehilangan orang yang sangat takut kehilanganku dulu, aku kehilangan kamu yang dulu selalu betah menunggu amarahku reda dengan hampir seharian menunggu di pos satpam demi menungguku turun untuk menemuimu.
Dan aku kehilangan cinta di dalam hidupku, tanpa aku pernah menyadarinya dulu.
Bahkan aku selalu bertanya, akankah ada suati hari nanti, semesta boleh mempertemukan kita lagi di kehidupan yang berbeda, di kehidupan dimana aku bisa melihatmu tetap sehat hingga usia tuamu dan hidup bahagia bersama dengan orang yang kamu cintai. Tidak apa-apa jika kelak kamu tidak pernah digariskan bahkan hanya untuk sekedar mengenalku, sudah terlalu cukup buatku pernah bisa dicintai oleh orang sepertimu di kehidupan ini dan sudah cukup juga buatmu, untuk aku sakiti lagi kesekian kalinya.

Dan segala tangis sesalku sekarang adalah tangismu dulu saat aku memilih meninggalkanmu, aku merasakan sedihmu dulu, aku merasakan kehilangan yang kamu rasakan dulu. Dan aku belajar untuk bisa merelakanmu, saat sang semesta lebih menyayangimu daripada yang bisa aku perbuat dulu, beristiratlah dalam tenangmu.