Hai, apa kabar?
Aku dengar, kamu sudah bekerja sebagai ASN di Ibu kota. Semoga kamu tidak abai pada kesehatanmu. Biasanya, aku rutin mendengar kabar kamu jatuh sakit. Entah karena lupa makan atau tiba-tiba menyeruduk mobil. Sedang aku tak pernah ada untuk sekadar menjengukmu.
ADVERTISEMENT
Ini tahun kelima sejak terkahir kali kita bertemu kala SMA. Aku ingat benar. Salah satu ruangan di kampus ternama kota ini telah mempertemukan kembali kita yang lama tak bersua. Berbeda sekolah dan kesibukan tak memungkinkan kita saling sapa. Oya, beda status juga. Waktu itu, pacarmu masih denganmu, kan? Kulihat hampir semua media sosialmu berisi kalian yang sedang berduaan.
Lima tahun yang lalu, tepatnya 16 Februari, Yogyakarta memasuki hari ketiga disiram abu Gunung Kelud. Di depan ruangan itu, sambil mengantri masuk untuk ujian tertulis salah satu beasiswa ternama, kamu berdiri sendiri. Mengenakan kemeja hitam, digulung hingga lengan. Aku melihatmu, begitu pula kamu melihatku asik bercengkrama dengan temanku. Kamu bilang aku buang muka. Asal kau tahu, aku sedang tak tahu harus berbuat apa saking bahagianya kamu berdiri di sana.
Aku tidak akan berjuang mati-matian untuk beasiswa yang baru akan kudapatkan ketika nanti kuliah, itupun kalau masuk universitas tertentu. Tapi melihatmu berada di jalur yang sama, membuatku tak menyerah begitu saja. Meski pada akkhrinya kita gagal di tahap yang sama, aku tak berhenti mnegutuki diri. Sebab setelah usai seleksi, bayanganmu lenyap seperti abu yang terbang dibawa angin.
ADVERTISEMENT
Memang bukan kisah yang menarik. Tapi sepenggal kisah itu satu dari beberapa yang bisa kuingat dengan baik. Tak perlu, kan, aku bercerita bagaimana jalan Jogja-Solo menyaksikan aku berurai air mata sejak pertemuan kita di salah satu lantai dua Jogja.
Cerita-cerita, yang sedemikian miris namun masih singgah di kepala. Tentang kita: aku yang tak pernah lelah menyapa dan kamu yang menanggapiku dengan biasa saja. Dari awal aku belum sadar apakah kamu orang yang tepat, sampai aku patah hati berhari-hari (kamu keberatan tidak jika kutulis bertahun-tahun?) Setelahnya.
Kembali ke masa kini, dimana kamu tak ada niatan sedikitpun mengabari meski jarak kaki kita sudah sedemkian dekat. Tak lagi terhalang ratusan kilo yang harus ditempuh delapan jam dengan kereta ekonomi.
Aku tahu, sudah lama pula menyadari. Bahwa jawaban yang kamu berikan tak akan lebih dari sekadar teman. Mungkin bagimu, aku terlalu merepotkan. Seorang manusia gagal dewasa yang sulit menyelesaikan permasalahanya sendiri. Namun bagiku, begitulah caraku berbagi duniaku denganmu. Berbagi masalah, berbagi solusi, berbagi cara menghadapi. Sebab aku selalu kagum pada caramu menaklukan dunia dan pendapat manusia. Aku selalu suka ketenanganmu, juga senyum yang kamu lempar pada hal yang bikin kamu gusar.
ADVERTISEMENT
Kalau kamu tanya mengapa aku masih bertahan, sungguh, aku sudah menyerah sejak aku melihatmu menatap pacarmu (yang bagai malaikat tanpa cacat itu sementara aku seperti sandal jepit yang tertukar di masjid), aku sudah mundur. Namun sulit, sangat sulit, sebab dari sekian alasan yang kuajukan untuk pikiranku sendiri adalah bahwa aku mengagumi kepribadianmu. Meski pada akhrinya aku juga suka tatap matamu, sudut senyummu, caramu melipat kemeja hitam, bahkan ketika kamu meletakkan kedua tangan di saku celana.
Terkahir kali bertemu, kamu menatap mataku dan berkata, tak mau lagi menemuiku jika aku bersikap kekanakan hanya karena tak ingin ditraktir. Aku panik. Kamu menyerangku telak. Maka kuiyakan, dan aku terpaksa pulang lebih dahulu sebab hari terlampau malam untuk anak gadis pulang sendirian. Perasaanku mengatakan, akan sulit bagiku menemuimu kembali. Dan memang demikian. Kamu memilih untuk mengakhiri hal yang sebenarnya memang tak pernah dimulai.
Di akhir narasi ini aku hanya ingin berterima kasih dan meminta maaf. Terima kasih telah menjadi teman yang sangat menyenangkan, rekan diskusi yang mengayikan, abang yang sangat mengayomi, guru yang sangat mengagumkan dan banyak lagi yang tak bisa kuungkapkan. Pula aku ingin meminta maaf darimu. Jika perasaanku berlebihan dan membebani, aku tak pernah ingin membuatmu kecewa. Untuk itu, aku ingin undur diri. Sebuah kalimat yang dari lama ingin kuucap langsung di depanmu namun tak pernah bisa.
Aku tahu siapa aku di matamu. Aku pun tahu, bahwa sekeras apapun aku berusaha, kita tak akan lebih dari dua orang teman yang hanya bisa saling sapa dan bertukar cerita.
Aku selalu berdoa kepada Tuhan untuk memudahkan langkahmu dan agar semesta memeluk erat keinginanmu. Karena hanya sebatas doa yang bisa kuberikan tanpa perlu ada di sampingmu.
Sampai jumpa, bang. Jaga kesehatan, ya.