Merasa Masih Mengalami Diskriminasi, Perempuan Korban Napza Ajukan Tuntutan
Kamis, 22 Maret 2018 10:10Penulis: Anisha Saktian Putri
Ilustrasi./Copyright shutterstock.com
Tahukah kamu jika perempuan korban Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif (Napza), masih mengalami kekerasan, diskriminasi, dan presekusi? Kenyataan tersebut memang sangat miris sekali.
Melihat hal tersebut, persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) menyampaikan 7 tuntutan dalam aksi menolak kekerasan berbasis gender terhadap perempuan korban Napza pada Hari Perempuan Internasional 2018. Ketujuh tuntutan tersebut adalah:
1. Libatkan perempuan korban Napza dalam menyusun kebijakan hukum dan rehabilitasi,
2. Hapuskan pasal karet RUU Narkotika No. 35/2009 dan RKUHP,
3. Praktikkan dekriminalisasi korban Napza dalam sistem peradilan pidana,
4. Hapuskan kekerasan terhadap perempuan korban Napza dari negara dan masyarakat.
5. Hapuskan stigma dan diskriminasi terhadap perempuan korban Napza,
6. Penuhi hak kesehatan bagi perempuan korban Napza sampai di dalam lapas,
7. Bangun dukungan psikososial bagi perempuan korban Napza.
Tujuh tuntutan ini dibuat berdasarkan pengalaman perempuan korban Napza. Misalnya belum ada program pencegahan kekerasan dan pelaporan bagi perempuan pengguna Napza. Dalam penanganan hukum pun, layanan bantuan hukum sering tidak dapat diakses oleh perempuan yang secara sosial sudah terisolasi dan terpinggirkan.
“Sebagai perempuan pengguna Napza, kami memiliki pengalaman dan kebutuhan yang berbeda dengan laki-Iaki. Sering kali kami mengalami stigma yang lebih tinggi dari komunitas dan masyarakat, dan petugas layanan kesehatan, dan juga dalam sistem peradilan pidana karena status kami sebagai pengguna Napza. Tetapi, kami pun manusia dan pantas mendapatkan hak yang sama seperti orang lain,” kata Mira Febriyanti, salah satu focal point atau perwakilan perempuan PKNI di Jakarta.
Tuntutan tersebut disampaikan berdasarkan data temuan studi Perempuan Bersuara, pada tahun 2014 dan 2015 yang menunjukkan tingginya kekerasan berbasis gender terhadap 731 perempuan pengguna Napza suntik di atas 18 tahun di Jawa Barat, Banten, dan Jakarta. Jenis kekerasan yang dialami adalah kekerasan, pelecehan, dan intimidasi oleh penegak hukum.
Sebanyak 87% perempuan yang sebelumnya ditangkap diminta uang suap oleh polisi untuk mendapatkan dakwaan mereka dijatuhkan. Kekerasan oknum poliSi juga sering terjadi. Sebanyak 60% perempuan yang mendapat kontak dengan petugas penegak hukum dianiaya kekerasan secara verbal (dihina/dicaci-maki oleh aparat penegak hukum).
Sedangkan, 27% dilecehkan secara fisik (ditampar, dipukul, ditendang, atau dipukuli dan 5% dilecehkan secara seksual secara paksa oleh aparat penegak hukum dalam proses penangkapan. Selain kekerasan dari oknum aparat penegak hukum, perempuan korban Napza juga mengalami kekerasan dan' pasangan intim.
Sebanyak 9 dari 10 (90.3%) perempuan yang menyuntikkan Napza mengalami kekerasan dari pasangan secara psikologis, fisik, dan/atau seksual oleh pasangan intim seumur hidup. Dan setidaknya 6 dari 10 perempuan yang menyuntikkan Napza mengalami beberapa bentuk kekerasan oleh pasangan intim dalam 12 bulan sebelumnya. Tingkat prevalensi ini 6 kali lebih tinggi daripada tingkat yang ditemukan Pada perempuan secara umum di Indonesia.
“Pemerintah Indonesia dalam menangani kebijakan Napza dan dampaknya terhadap perempuan harus memilih strategi berbasis kesehatan masYarakat dan pengurangan dampak buruk daripada strategi yang punitif,” ujar Fiona Hasyim, staf Program Perempuan dan Gender PKNI.
Fiona mengatakan ketujuh tuntutan tersebut juga merupakan respon dari situasi kebijakan perang terhadap narkotika yang dilakukan pemerintah yang justru memperpanjang dampak kriminalisasi tehadap perempuan korban Napza. PKNl berharap agar tuntutan ini mendapatkan perhatian serta komitmen penuh dari pemerintah dan masyarakat untuk terus berupaya bersama menghentikan kekerasan terhadap perempuan korban Napza.
Melihat hal tersebut, persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) menyampaikan 7 tuntutan dalam aksi menolak kekerasan berbasis gender terhadap perempuan korban Napza pada Hari Perempuan Internasional 2018. Ketujuh tuntutan tersebut adalah:
1. Libatkan perempuan korban Napza dalam menyusun kebijakan hukum dan rehabilitasi,
2. Hapuskan pasal karet RUU Narkotika No. 35/2009 dan RKUHP,
3. Praktikkan dekriminalisasi korban Napza dalam sistem peradilan pidana,
4. Hapuskan kekerasan terhadap perempuan korban Napza dari negara dan masyarakat.
5. Hapuskan stigma dan diskriminasi terhadap perempuan korban Napza,
6. Penuhi hak kesehatan bagi perempuan korban Napza sampai di dalam lapas,
7. Bangun dukungan psikososial bagi perempuan korban Napza.
Tujuh tuntutan ini dibuat berdasarkan pengalaman perempuan korban Napza. Misalnya belum ada program pencegahan kekerasan dan pelaporan bagi perempuan pengguna Napza. Dalam penanganan hukum pun, layanan bantuan hukum sering tidak dapat diakses oleh perempuan yang secara sosial sudah terisolasi dan terpinggirkan.
“Sebagai perempuan pengguna Napza, kami memiliki pengalaman dan kebutuhan yang berbeda dengan laki-Iaki. Sering kali kami mengalami stigma yang lebih tinggi dari komunitas dan masyarakat, dan petugas layanan kesehatan, dan juga dalam sistem peradilan pidana karena status kami sebagai pengguna Napza. Tetapi, kami pun manusia dan pantas mendapatkan hak yang sama seperti orang lain,” kata Mira Febriyanti, salah satu focal point atau perwakilan perempuan PKNI di Jakarta.
Tuntutan tersebut disampaikan berdasarkan data temuan studi Perempuan Bersuara, pada tahun 2014 dan 2015 yang menunjukkan tingginya kekerasan berbasis gender terhadap 731 perempuan pengguna Napza suntik di atas 18 tahun di Jawa Barat, Banten, dan Jakarta. Jenis kekerasan yang dialami adalah kekerasan, pelecehan, dan intimidasi oleh penegak hukum.
Sebanyak 87% perempuan yang sebelumnya ditangkap diminta uang suap oleh polisi untuk mendapatkan dakwaan mereka dijatuhkan. Kekerasan oknum poliSi juga sering terjadi. Sebanyak 60% perempuan yang mendapat kontak dengan petugas penegak hukum dianiaya kekerasan secara verbal (dihina/dicaci-maki oleh aparat penegak hukum).
Sedangkan, 27% dilecehkan secara fisik (ditampar, dipukul, ditendang, atau dipukuli dan 5% dilecehkan secara seksual secara paksa oleh aparat penegak hukum dalam proses penangkapan. Selain kekerasan dari oknum aparat penegak hukum, perempuan korban Napza juga mengalami kekerasan dan' pasangan intim.
Sebanyak 9 dari 10 (90.3%) perempuan yang menyuntikkan Napza mengalami kekerasan dari pasangan secara psikologis, fisik, dan/atau seksual oleh pasangan intim seumur hidup. Dan setidaknya 6 dari 10 perempuan yang menyuntikkan Napza mengalami beberapa bentuk kekerasan oleh pasangan intim dalam 12 bulan sebelumnya. Tingkat prevalensi ini 6 kali lebih tinggi daripada tingkat yang ditemukan Pada perempuan secara umum di Indonesia.
“Pemerintah Indonesia dalam menangani kebijakan Napza dan dampaknya terhadap perempuan harus memilih strategi berbasis kesehatan masYarakat dan pengurangan dampak buruk daripada strategi yang punitif,” ujar Fiona Hasyim, staf Program Perempuan dan Gender PKNI.
Fiona mengatakan ketujuh tuntutan tersebut juga merupakan respon dari situasi kebijakan perang terhadap narkotika yang dilakukan pemerintah yang justru memperpanjang dampak kriminalisasi tehadap perempuan korban Napza. PKNl berharap agar tuntutan ini mendapatkan perhatian serta komitmen penuh dari pemerintah dan masyarakat untuk terus berupaya bersama menghentikan kekerasan terhadap perempuan korban Napza.