Tentang Mimpi yang Akhirnya Jadi Angan Belaka, Karena Terbentur Restu Kedua Orangtua
Seringkali aku ingin berteriak jika aku ingin dimengerti, namun aku berakhir dengan diam
Salahkah jika saya mempunyai impian?
Sejak kecil banyak sekali mimpi yang saya inginkan tewujud ketika kelak saya bertumbuh dewasa, mungkin kalian bisa memanggilku gadis dengan sejuta mimpi, ah klasik memang!
Seiring berjalannya waktu, saya telah tumbuh dewasa, beberapa mimpiku telah saya tinggalkan di masa kecil, beberapa lagi selalu saya bawa hingga menuju dewasa, ada pula beberapa mimpi-mimpi baru berdatangan seiring bertambahnya usia.
Saya tidak bermimpi menjadi dokter yang menjadi pekerjaan impian serta mulia dimuka bumi ini ataupun menjadi seorang pramugari yang bisa terbang keliling dunia. Seperti halnya menanyakan tentang impian mau jadi apa ketika besar nanti kepada seorang anak kecil. Dari begitu banyak mimpiku, dapat saya rangkum secara singkat menjadi sederhana, saya hanya ingin diberi dukungan atas apa yang saya pilih kelak.
Saya bukanlah seseorang yang sering berkoar-koar tentang impian, saya tipe yang lebih banyak diam apalagi berbicara soal impian. Saya membiarkan doa dan usaha yang mewujudkannya. Hingga sekarang saya sudah mengerti apa arti impian yang sebenarnya. Impian yang dulu saya inginkan terwujud, sekarang hanyalah menjadi sebuah angan-angan, sedikit demi sedikit mulai pudar dimakan sang waktu.
Mengapa begitu?
Keluarga adalah orang terdekat yang sangat berperan penting dalam proses menuju dewasa, terutama orang tua. Ya, saya harap demikian. Tapi sekarang, rasanya bulu-bulu sayap mimpiku mulai berjatuhan. Salah satu sisi dari sayapku mulai rapuh, sehingga saya tidak dapat menerbangkan mimpi-mimpi itu dengan baik sebagaimana yang saya inginkan dulu. Kenyataannya sekarang, mimpiku dipatahkan oleh orang terdekatku sendiri.
ADVERTISEMENT
Seringkali saya ingin berteriak, ingin marah, ingin dimengerti. Bagaimana sih rasanya diberi dukungan? Batinku semakin ditekan, saya tidak pandai meluapkan semuanya di depan mereka, mengutarakan pendapat bahwa saya juga ingin dimengerti. Ketika saya marah, saya tidak bisa meluapkannya secara gamblang, yang bisa saya lakukan hanyalah menangis. Perbedaan pendapat memang bukan hal yang mudah untuk dimengerti, mereka selalu menekanku untuk jadi seperti yang mereka inginkan. Harus jadi begini dan begitu, sementara inginku selalu ditentang. Perdebatan singkat seringkali mewarnai hari-hariku.
Mengapa sejak saya kecil dulu kalian yang selalu mengajariku untuk bermimpi? Menerbangkan impian setinggi-tingginya, namun saat saya mulai mewujudkannya kalian yang pertama mematahkan sayap-sayap impianku? Padahal begitu banyak kesempatan yang berlalu-lalang di depanku, tapi untuk menggenggamnya saja rasanya tidak mungkin. Sering saya bertanya kepada Tuhan tentang apa yang salah dan siapakah yang harus saya ikuti.
Di sisi lain ridho orangtua adalah yang terutama, sementara hati kian memberontak. Rasanya mulai takut untuk bermimpi.
Saya sering menemukan beberapa orang yang mengeluh karena lelahnya menjalani mimpi mereka yang sekarang menjadi kenyataan, penat, dan ingin menyerah katanya. Dari dalam lubuk hati terdalam inginku meluapkan apa yang saya rasakan, bahwa kalian mungkin lebih beruntung dari saya. Kalian sudah bisa mewujudkan mimpi, namun di tengah perjalanan kalian menghiasinya dengan bubuk-bubuk keluhan. Sementara saya? Gadis yang disebut-sebut sang pemimpi, tapi tidak mempunyai kesempatan untuk mencapainya karena tidak mendapatkan dukungan orang terdekat. Tidakkah kalian bersyukur?
Sekarang yang saya lakukan adalah terus percaya pada kehendak Tuhan, Sang Penguasa Alam. Berharap kakiku terus kuat untuk melangkah melalui setiap musim kehidupan, meskipun seringkali kerikil-kerikil tajam melukai kakiku. Mimpi, harapan, dan cita-cita saya serahkan semuanya kepada Sang Pencipta. Bukankah ketika Ia sudah berkehendak, tidak ada satupun yang dapat menghalanginya?